Mereka hanya saling berpandangan
dalam diam, tanpa suara. Seakan mereka sedang berinteraksi melalui tatapan mata
mereka. Entah apa yang saat ini dirasakan Malika. Bahagia, sedih , atau takut?
Malika tak bisa menjabarkan rasanya saat ini. Ia hanya bisa memandang Bagas
lekat-lekat, seakan ia tak ingin Bagas pergi jauh darinya. Rasanya ada yang
aneh dari Bagas, tentang caranya menatap dan genggaman tangan Bagas pun terasa
berbeda.
Namun, Malika tak ingin bertanya
sedikitpun atau memulai pembicaraannya. Ia ingin Bagas yang memulai membuka suara.
Meski ia sangat penasaran dengan perubahan sikap Bagas padannya.
“Malika,”kata Bagas memecah
kesunyian.
“Iya,”suara lembut Malika selalu
mengalun dengan senyuman.
“Aku minta maaf.” Suara Bagas mulai
merendah.
“Maaf? Untuk apa?” Tanya Malika
heran.
“Aku mau jujur sama kamu.”
“Maaf? Jujur? Ada apa? Aku nggak
ngerti.” Malika semakin bingung dengan sikap Bagas.
“Hmmm… ada apa? Juju raja.”lanjut
Malika saat ia tak mendengar satu patah kata pun dari Bagas.
“Nggak ada apa-apa, kita pulang
yuk.”
“Nggak,”
“Kenapa?”
“Karena kamu nggak mau jujur sama
aku.”
“Kamu cantik.”
“Aku mengenal kamu bukan sebulan
atau dua bulan Bagas, ya udah, kalau kamu belum mau cerita. Tapi jangan pulang
dulu dong, kita ke sana aja gimana?” ajak Malika dengan senyumannya.
Mereka pun segera bangit dari tempat
duduk, yang sejak 30 menit yang lalu telah menemani mereka. Suasana danau di
sore hari mampu membius pandangan Malika. Ia terfokus pada keindahan di
hadapannya, hingga tak menyadari perubahan raut wajah Bagas.
Seperti ada yang disembunyikkannya
dari Malika. Wajar orientalnya yang manis, seketika menjadi pucat pasi, ada
suatu ketakutan dalam dirinya. Dicobanya untuk tetap tersenyum di hadapan
Malika, yang sebenarnya ia sendiri tau, jika sulit untuknya melakukan hal itu.
“Kamu kenapa? Sakit?” Tanya Malika
khawatir.
“Nggak ko’, mau main balon?” Tanya
Bagas yang berusaha mengalihkan perhatian Malika.
“Tunggu sebentar ya,” lanjutnya,
setelah melihat perubahan raut wajah Malika.
Bagas pun segea pergi dan membeli
sebotol balon sabun, sementara Melika masih asik memandangi danau sembari
memotret sekelilingnya. Cuaca hari ini tidak cukup panas, sehingga siapa pun
betah untuk berlama-lama di pinggir danau. Sepoian angin menerbangan rambutnya,
hingga ia harus berulang kali menepisnya dari wajah indonya itu.
Lima belas menit telah berlalu,
namun Bagas belum juga kembali. Nampaknya Malika pun tak menyadari jika Bagar
belum kembali sejak lima belas menit yang lalu.
“Mau main balon?”Tanya Bagas sembari
menyodorkan sebotol balon sabun ke hadapan Malika.
“Makasi,” jawabnya saat mengambil
botol itu.
Malika pun hanyut dalam kegiatannya
itu, namun, kebahagiaan yang ia rasakan seperti terganjal oleh sesuatu yang ia
sendiri tak tau. Setiap kali ia menoleh kearah Bagas, hatinya selalu merasa
takut, entah apa yang sedang ditakutkannya saat ini. Malika semakin
bertanya-tanya, mengapa akhir-akhir ini Bagas lebih sering terlihat muram jika
ia sedang bersamanya.
Namun, Malika tak ingin mebiarkan
pikiran negatifnya, ia terus mencoba untuk berfikir positif. Tak ada sedikitpun
niatan dalam hati Malika untuk bertanya, ia ingin Bagas sendirilah yang akan
bercerita padanya. Ia tak ingin jika sikap ingin taunya malah akan mengusik
Bagas dan membuatnya tidak nyaman.
Malika berusaha tetap terlihat
gembira, ia tetap tersenyum jika sedang bersama Bagas. Malika tampak asik
dengan balon sabunnya hingga ia merasa terbebas sejenak dari pikiran yang telah
mengganggunya.
“Aku suka sama cewek lain.” Kata
Bagas dengan nada lirih.
Seperti tersambar petir di siang
bolong. Malika langsung menoleh ke belakang, ditatapnya Bagas lekat-lekat.
Tubuhnya lemas, kaget mendengar ucapan Bagas, tanpa sadar ia telah menjatuhkan
balon sabunnya. Bagas yang menyadari hal itu, tampak bingung, ia menundukkan
wajahnya dalam-dalam, berharap ia tak dapat melihat tatapan mata Malika.
Bagas kini telah pasrah, ia siap
menerima respon apa pun dari Malika. Bagas sadar, dirinyalah yang telah
menyakiti hati Malika. Malika hanya dapat melihat Bagas dalam diam. Hatinya
sesak, hancur, dan sangat sakit. Seribu pertanyaan kini hadir dalam benaknya,
namun tak ada satu pun yang berani terlontar dari mulutnya. Serasa saat ini
mulutnya telah dilem dengan lem yang paling kuat.
“Aku mencintainya Malika.” Lirih
ucapan Bagas saat tak ada satupun kata yang terlontar dari mulut Malika.
“Pergi.”lembut ucap Malika sambil
tersenyum.
“Tapi………”
“Pergi,” Malika memalingkan wajahnya
dari Bagas, ia ta ingin Bagas melihat air matanya.
“Malika,” rasa bersalah ini hadir
dalam diri Bagas.
“ Aku tak ingin menjadi penghalang
cintamu, pergilah.” Katanya yang dicoba agar terdengar tegar dan ramah.
Air mata Malika kini tak dapat
ditahan lagi, air matanya deras menetes. Ia tak tau apa yang harus dilakukannya
kini. Diam dan mendengarkan Bagas atau berlari meninggalkan Bagas? Seketika
pikirannya menjadi kusut, hatinya sesak, mulutnya membisu, dan kakinya kaku.
Bagas menyadari akan hancurnya
Malika saat ini. Ia sadar telah melanggar janjinya pada Malika, jika ia akan
selalu menjaga hati Malika. Ia sadar jika ia terlah menghianati cinta yang
telah terajut selama dua tahun itu.
“Maaafkan aku,” Bagas mencoba untuk
memeluk Malika dari belakang.
“Aku tak pernah mengizinkanmu untuk
memelukku, apalagi sekarang kau bukan lagi pacarku.”kata-kata itu terlontar
begitu saja dari mulut Malika, saat ia menepis tangan Bagas.
Sekuat tenaga dicobanya untuk
melangkahkan kaki, Ia merasa tak sanggup lagi untu berdiri. Tertatih ia
bergerak menuju sebuah kursi di pinggi danau itu. Bagas yang melihat pergerakan
Malika, segera mengikutinya dari belakang. Diberanikan dirinya untuk duduk di
samping Malika. Bagas hanya bisa diam, ketika ia harus melihat air mata Malika
yang mengalir di kedua pipinya. Ia ingin menghapus air mata itu, tapi ia tak
mampu. Ia tak sanggup jika nanti ia menatap mata Malika.
“Mengapa kau masih disini?”
“Aku tak akan meninggalkanmu
sendiri. Aku yang membawamu kesini, jadi aku juga yang akan mengantarkanmu.”
Mereke kembali berkonflik dalam
diam, hingga Malika tak tahan lagi untuk
menahan seribu pertanyaan dalam benaknya.
“Siapa cewek itu?”
“Teman sekolahku.”
“Oooh.”
“Aku mau jujur satu hal lagi
padamu.”
Malika enggan untuk menjawa kalimat
Bagas, ia lebih memilih untuk melepaskan kalung yang selama dua tahun ini setia
melingkar dilehernya, dari pada ia harus menjawab pertanyaan dari Bagas.
“Aku telah berpacaran dengannya
sejak tiga bulan yang lalu. Namanya Violla, dia anak cheers. Aku tak ingin
menyakitinya.” Kalimat itu mengudara begitu saja.
Malika tak menyangka, Bagas begitu tak
punya hati. Dengan tenang ia mengatakkan hal itu, tanpa memikirkan perasaan
hatinya. Namun, Malika tetap tersenyum dan tersenyum. Ia tak ingin Bagas merasa
senang dan menang jika Bagas melihatnya hancur. Biarlah air matanya saja yang
dilihat Bags.
“Aku pikir, sudah saatnya aku
mengatakan hal ini, aku tak ingin menyakitimu lebih dari ini. Maaf jika aku
sudah melanggar janjiku padamu.”
“Kamu tak perlu merasa bersalah
padaku, dulu kau yang memintaku untuk menjaga hatimu, jadi jika kini kau tak
percaya lagi padaku kau pantas mengambilnya kembali.” Kata-kata itu memang
bijak namun terasa menyakitkan bagi Bagas.
“Kau berhak menitipkan hatimu pada
siapa pun. Pergilah, aku akan kembalikan hatimu dan aku janji aku tak akan
mengusik hubungan kalian.” Lembut suara Malika sambil menyerahkan kembali
kalung pemberian Bagas.
“Kamu tetap boleh memakai kalung
ini.”
“Tapi aku tak ingin memakainya
kembali, aku sudah tak suka kalung itu. Kau boleh pergi sekarang.”
“Aku tak akan meninggakanmu.”
Tapi
kau telah meninggalkanku, lirih ucap Malika dalam hati. Segera diseka, air
mata yang telah mengalir sejak tiga puluh menit yang lalu itu, ditenangkan
dirinya dan dibuatnya merasa senyaman mungkin.
Malika bangkit dari kursinya,
meninggalkan Bagas seorang diri. Saat ini, Malika tak ingin lagi melihat wajah
Bagas. Wajah Bagas kini bagaikan limbah beracun yang akan membunuhnya secara
perlahan-lahan.
“Kamu mau kemana.”
“Jika kamu tak ingin pergi, biarlah
aku yang pergi dari sini.”
“Aku akan mengantarmu.” Bagas pun
bangkit dari kursinya.
“Jangan kau hadir lagi dihadapanku,
jika kau hanya akan membuatku terluka. Kau tak perlu mengasihaniku.”
Malika segera melangkahkan kakinya
dan pergi dari hadapan Bagas. Saat ini dunia terasa berhenti, hingga waktu
berjalan dengan sangat lambat. Ia ingin hari ini segera berlalu, hingga ia
terbebas dari semua peristiwa di hari ini.
Malika hanya bisa menunduk lemas,
meratapi apa telah ia hadapi. Mendadak aliran darahnya membeku, hingga otanya
tak lagi mampu berjalan dengan semestinya. Hatinya telah hancur
berkeping-keping.
Tak masuk dalam logikanya bagaimana
mungkin cinta yang ia rajut selama dua tahun, harus terpatahkan dengan cinta
yang telah terajut selama tiga bulan?
Malika terus memaksa kakinya untuk
berjalan, dengan tatapan kosong Malika berjalan tanpa tujuan, tak dihiraukan
Bagas yang telah ditinggalnya sendirian di danau. Terus ditahan air matanya
agar tak menetes lagi, ia tak ingin semua orang tau apa yang saat ini ia
rasakan. Baginya, lebih baik semua orang menganggap dirinya sedang berbahagia,
meski kini hatinya telah luluh lantak.
Ternyata kebahagiaan yang ia tanam
selama dua tahun, harus ia petik dengan luka yang menganga. Namun senyum itu
tak pernah pernah pudar dari raut wajahnya. Sehingga membuat dirinya tetap
terlihat cantik, meski ia sedang sedih sekali pun.
Bagas menarik napasnya dalam-dalam.
Perasaannya kini kacau balau, ia tak menyangka Malika bisa begitu menerima
keputusannnya. Ia tau gadis itu hancur saat ini, tapi ia juga tau separuh
hatinya telah berpaling pada yang lain. Tapi, kenapa hatinya hancur ketika
melihat gadis itu menangis? Mengapa ia tak kuasa melihat ketika gadis itu
mencoba untuk terlihat tegar dan tersenyum, padahal ia tau gadis itu sedang
dilemma?
Apa mungkin ia juga masih mencintai
Malika? Lalu, benarkah keputusannya ini? Segala argument berkecamuk dalam diri
Bagas. Mengapa kini ia merasa bersalah pada Melika? Mengapa ia merasa takut
akan jauh dari Malika? Ia tak ingin Malika pergi untuk segalanya.
“Haaaaaaaaaa………!!!!” teriak Bagas di
tepi danau.
Diambilnya sebongkah kerikil, lalu
melemparnya ke dalam danau.
“Kenapa kamu ndak marah sama saya!”
bentak Bagas.
Bukan itu yang Bagas inginkan, Bagas
lebih memilih jika Malika marah padanya, memukulnya, dan membencinnya. Dari
pada ia harus melihat Malika kecewa dalam senyumnya, berusaha tegar untuk
melepasnya, dan menamparnya dalam diam.
Semua ini tak masuk dalam
bayangannya, gadis itu terlalu baik. Hingga ia tetap tersenyum pada orang yang
telah menyakitinya. Ini yang membuat Bagas menjadi dilemma, ketika kesalahannya
harus dibayar dengan kebaikan hati Malika.
***
Senja telah hadir di hadapannya,
namun, Malika tak ingin menghentikan langkah kakinya. Dirogoh isi tasnya,
diambil selembar foto yang setia menemaninya. Ditatapnya foto itu lekat-lekat
hingga ia tak sadar, jika air matanya kembali menetes. Badannya kembali
lunglai. Hingga ia harus bersandar pada tonggak kayu di jembatan itu.
Foto itu masih dalam genggamannya
dan ditatapnya. Dihirup udara disekelilingnya dalam-dalam, berharap udara itu
mampu menyegarkan tubuhnya. Dipejamkan kedua matanya, agar ia dapat
merileksasikan otot-ototnya. Ia ingin sejenak melupakan segala hal yang
menyesakkan batinnya.
“Hahhhh,”desahnya.
Senyumnya kembali teruntai, matanya
memang focus ke depan namun, tidak dengan pikirannya yang tengah
melayang-layang, terbang bebas di udara.
“Hei, aku memang cinta kamu, tapi
aku ndak mau jadi penghalang untukmu menemui cinta sejatimu. Hei, kau tau saat
ini aku hancur karenamu. Aku tak menyangka, kau berani mempertaruhkan hubungan
kita karena dia yang baru kamu temui. Hei, cepat bagimu melupakanku, tapi,
bagaimana dengan aku? Aku memikirkan dia, kau tak ingin dia sakit, tapi mengapa
kau tak mampu memikirkanku lagi? Kau tak bisa merasakan apa yang kurasa.”
Kepalanya terasa berat, mungkin ini
dampak karena ia terlalu lama menangis.
“Hei, ternyata kau bukan takdirku.
Terimakasih untuk semua yang kau bei selama dua tahun ini. Terimakasi untuk
kado di second enniversary kita .”
Malika tak bisa membohongi dirinya
sendiri, jika ia sangat terluka dan masih sangat mencintai Bagas. Ia tak pernah
bermimpi sedetik pun jika di hari jadi hubungannya dengan Bagas, ia hanya
ditemani dengan foto dan luka menganga yang telah diciptakan oleh Bagas
sendiri. Tak ada bagas disampingnya. Tak ada lagi nada indah yang dinyanyikan
Bagas untuk dirinya.
Di hari ini pula ia menyadari
perubahan sikap Bagas, yang tak pernah lagi menyanyikan lagu untuknya selama
dua bulan terakhir, tak ada lagi kiriman bunga dan puisi yang setia hadir untuk
mewarnai hari-harinya. Ada rasa penyesalan dalam diri Malika, bukan menyesal
karena melepaskan Bagas atau karena Bagas yang telah menghianatinya dan ia
telah dibohongi oleh Bagas.
Ia sangat menyesal dan kecewa,
karena ia tidak peka, ia tak pernah menyadari perubahan sikap Bagas pada
dirinya. Malika tak menyangka dirinya bisa sebodoh itu, bisa mengaku telah
mengenalnya, tapi ternyata ia tida bisa peka akan sikapnya.
Malika kembali menutup mata dan
menarik napasnya dalam-dalam. Kembali membuka pintu dalam kepalanya, membiarkan
pikirannya terbang sesuka hatinya. Dan mencoba untuk tetap terlihat tenang.
Malika kembali membuka kedua kelopak
matanya. Memutarkan pandangan dan melihat kesekelilingnya. Ia baru menyadari,
ternyata ia telah jauh melangkah hingga ia dapat berdiri di jembatan ini. Mungkinkah,
karena kerisauannya, ia tak merasakan lelah dan haus sedikit pun? Namun, Malika
tak menyesali hal itu, pemandangan tepi sungai di waktu senja ternyata telah
menarik perhatiannya.
Sejenak Malika dapat terlupakan
dengan sakit hatinya, ia kembali tersibukkan dengan kamera yang telah berada
dalam genggaman tangannya.
***
Bagas masih belum ingin bangkit dari
kursi itu dan melangkahkan kakinya untuk segera beranjak pergi. Jika hatinya
hatinya tak terus melonjak, perasaan tidak enak dan kekhawatirannya pada Malika
kian berdebar dengan keras.
Kegelisahannnya pada gadis yang
selama hampir dua tahun mengisi hatinya, mampu membuat kakinya melangkah.
Dengan cepat Bagas berlalu, hingga ia tiba di rumah Malika. Bagas berharap
kekhawatirannya tak terwujud, ia berharap dapat bertemu dengan Malika dan gadis
itu baik-baik saja.
Namun, secuil ketakutan muncul dalam
benaknya, ketika ia telah berdiri tegap di depan pintu rumah Malika. Bukan
karena takut Malika akan marah dan mengusirnya atau terkena sambaran amarah
kedua orang tua Malika, karena ia telah membuat puteri semata wayang mereka
menangis. Tapi, ketakutan itu lebih didasarkan pada ketakutannya memandang
wajah Malika dan melihatnya menangis
atau bahkan melihat ia tersenyum dan mencoba untuk tegar.
Namun, sudah kepalang basah untuk
beranjak dan pergi dari rumah itu, ia pun tak bisa tenang bila ia belum bertemu
dengan Malika. Dengan segala kekuatan yang masih berada dalam dirinya, ia
mencoba untuk menekan bel yang terpasang pada pintu rumah Malika.
“Ee.. Bagas.. ada apa?” sapa Bu
Indira.
“Iya tante, Malikanya ada tante?”
Bagas mencoba untuk tersenyum, meski dirinya terkejut melihat sikap mama Malika
yang begitu ramah padanya.
“Malika? Bukannya Malika pergi sama
kamu?” Tanya u Indira dengan heran.
“Jadi Malika belum pulang
tante?”Tanya Bagas dengan terbata-bata.
“Belum, ada apa sebenarnya?” Tanya
bu Indira khawatir.
“Tidak ada apa-apa tante, Cuma tadi
Malika pulang duluan.” Bagas mencoba untuk memperlancar kata-katanya, meski ia
tak dapat menutupi raut wajahnya yang was-was.
“Pulang duluan? Kalian…”
Belum sempat Bu Indira melanjutkan
kata-katanya, ketika handphonenya bordering. Satu panggilan masuk tanpa nama.
Segera Bu Indira menjawab panggilan itu.
“Hallo, selamat sore.” Suara
di seberang sana.
“Iya sore, maaf siapa ya?” jawab Bu
Indira ramah.
“Kami dari kepolisian.”jawab sang
penelpon di seberang sana.
“Kantor polisi?” ulang Bu Indira
kaget yang mulai terlihat cemas.
Bagas pun ikut kaget dan cemas.
Siapakah gerangan yang terlibat dengan kepolisian? Mungkinkan itu ayah Malika?
Namun dirasa tidak, ayah Malika saat ini sedang bekerja di luar negeri. Lalu
siapa? Apakah Malika? Mengingat nama itu, membuat kekhawatiran dalam diri bagas
kian memuncak. Ia masih berharap, tidak akan terjadi sesuatu yang buruk pada
Malika.
“Apakah ibu kenal dengan Malika?”
Tanya pemilik suara itu.
“Iya, Malika anak saya, apa yang
terjdi dengan puteri saya?” nada suara Bu Indira kian menghilang,
kekhawatirannya pada sang puteri semata wayang kian membesar.
“Anak ibu kecelakaan, saat ini ia
sedang dibawa ke Rumah Sakit Harapan.”suara itu seperti diperhalus.
“Kecelakaan? Rumah Sakit?” ulang Bu
Indira yang terlihat shock.
Seketika badannya melepas,
handponenya jatuh begitu saja dan terurai di lantai. Bagas pun demikian, ia tak
dapat berhenti memikirkan hal-hal buruk, setelah mendengar kata kecelakaan dan
rumah sakit.
Namun, untung Bagas masih bisa
mengendalikan dirinya, sehingga ia dapat menahan tubuh Bu Indira yang hampir
jatuh ke lantai. Dengan bantuan para pekerja rumah tangga di rumah Malika.
Bagas membawa Bu Indira masuk ke dalam rumah dan membaringkannya di sofa.
Sementara sang pembantu mencoba
untuk menyadarkan majikannya yang sedang pingsan. Bagas tak henti-henti mencoba
menelpon ke handphone Malika. Namun tidak ada jawaban. Kemana Malika? Mengaa ia
belum pulang? Mengapa handphonenya mati dan tak bisa dihubungi?
Bagar terlihat sangat khawatir.
“Ambil kunci mobil sekarang.”kata Bu
Indira setelah bangun dari pingsannya.
Bagas pun kaget mendengat suara Bu
Indira, ia segera menoleh dan
menghampiri Bu Indira.
“Tapi, nyonya belum baikan,
sebaiknya nyonya istirahat dulu.”
“Ambil kunci mobil
sekarang.”perintah Bu Indira dengan nada yang ditinggikan.
Terdengar sangat jelas, suara itu
mengandung kekhawatiran dan kecemasan yang mendalam. Bagas pun kembali
bertanya-tanya apa yang terjadi pada Bu Indira.
“Tante tenang, sebenarnya ada apa?”
kata Bagas menenangakan ketika ia melihat air mata Bu Indira mulai mengalir.
“Ini kuncinya nyonya.”
“Kamu ikut saja kalau kamu ingin tau.”jawab
Bu Indira singkat.
Bu Indira segera bangkit dari
kursinya dan beranjak untuk pergi. Bagas pun mengikutinya dari belakang tanpa
banyak bicara. Baginya,tak ada gunanya banyak bertanya saat ini, bu Indira tak
akan mungkin menjawab pertanyaannya. Bagas hanya berusaha untuk menenangkan
hati Bu Indira yang masih menangis. Wajahnya mulai menucat. Buku-buku jarinya
memutih ketika ia mencoba untuk melajukan mobinya dengan kecepatan yang tinggi.
Hingga, Bagas menjadi takut jika akan terjadi hal yang tidak diinginkan.
Namun, bu Indira tak mendengarkan
setiap ucapan Bagas, yang ada dalam pikirannya kini hanyalah malika, Puteri
semata wayangnya. Ia ingin segera bertemu Malika dan meyakinkan dirinya jika
Malika baik-baik saja.
Bagas semakin tak mengerti dengan
semua ini, mengapa mereka pergi ke rumah sakit dan mengapa Bu Indira tak henti
menangis. Bagas mempercepat langkahnya agar ia tak tertinggal dari Bu Indira
yang telah berlari jauh di depannya.
“Diamana anak saya?” atanya gusar
pada petugas resepsionis.
“Nama anak ibu siapa?” Tanya petugas
itu ramah.
“Malika.”
“Anak ibu ada diruangan 206.”
Seperti mendapat dorongan yang
begitu kuat, Bu Indira kembali melangkahkan kakinya dengan cepat. Ia baru dapat
menghentikan langkah kakinya ketika ia sudah berada di depan ruangan tempat
putrinya dirawat. Ia segera masuk tanpa dikomando. Ia berharap dapat segera
melihat sang putri kesayangannya.
“Malika..”
Sang dokter nampak kaget, ketika Bu
Indira masuk begitu saja ke dalam ruangan, Bagas pun ikut masuk ke dalam ruangan
bersama Bu Indira. Bu Indira segera berlari menuju tepi tempat tidur, segera
dipeluk Malika lekat-lekat, dielus-elusnya wajah Malika.
“Malika sayang, bagun nak. Ini mama.
Bangun sayang.” Ucapnya lirih.
Namun Malika seperti tak ingin
membuka matanya, ia hanya diam terpaku di tempat tidur dengan perban yang
terpasang apik di kepalanya. Bu Indira nampaknya tak sabar untuk melihat Malika bangun dari
tidurnya, digoyang-goyankan tubuh Malika, namun Malika tetap tak merespon.
Tubuhnya hanya terbujur kaku di tempat tidur.
“Malika ayo bangun nak, jangan
tinggalin mama sayang.”katanya lembut.
“Bagun Malika bagun.” Lanjut Bu
Indira sambil menggoyang-goyangkan tubuh Malika.
“Ibu tenang.” Kata dr. Zahra lembut.
“Apa kamu bilang? Tenang? Bagaimana
saya bisa tenang kalau anak saya tidak sadarkan diri? Bagaimana saya bisa
tenang kalau melihat anak saya penuh luka? Bagaimana cara saya untuk tenang?”
kata Bu Indira tegas namun sedih.
“Maafkan kami bu, tapi, nyawa anak
ibu tidak dapat kami selamatkan.” Ucap dr. Zahra yang dibuat sehalus mungkin.
“Apa? Tidak dapat diselamatkan? Jaga
ucapanmu dokter, anak saya pasti selamat, dia akan sembuh!” bentak bu Indira
yang tak mampu menerima kenyataan.
“Maafkan kami ibu, kami tidak
berbohong.”
“Tidak, Malika pasti sembuh, anak
saya belum meninggal.” Bentak Bu Indira.
“Malika sayang bagun nak, kasih tau
mereka kalau kamu belum meninggal sayang. Malika kamu dengar mama kan sayang.”
Ucapnya lirih sambil mengelus pipi anaknya lembut.
Bagas seperti tersambar petir di
tengah padang pasir yang panas. Badannya mendadak gemetar ketika mendengar
kenyataan bahwa Malika telah pergi selamanya. Ia ta menyanngka keputusannya
untuk jujur pada Malika akan membuat dirinya kehilangan Malika untuk selamanya.
Penyesalan kini muncul dalam benaknya, ternyata ia bukan saja membuat luka
menganga di hati Malika, namun ia juga membuat luka menganga di sekujur tubuh
Malika.
Ia tak pernah menyangka jika ia
harus menghancurkan seluruh hidup Malika, membuatnya pergi jauh dan menyisakan
luka dan kesedihan di hati semua keluaga Malika. Bagas hanya bisa meratapi semua kesalahannya.
Niatnya untuk tak menyakiti Malika lebih dari yang ia kira, ternyata telah
membuat luka menganga yang sangat besar.
Bagas tau percuma rasanya jika ia
menyesal sekarang, sudah kepalang basah, semua telah terjadi. Ia tak tau
bagaimana caranya meminta maaf pada Malika, bagaimana cara ia menghadapi sikap
kedua orang tua Malika, dan semua teman-temannya jika mereka tau yang
sebenarnya. Peristiwa tiga puluh menit sebelum Malika pergi untuk selamanya.
Sekelebat bayang-bayang Malika
kembali hadir di hadapannya. Bagaimana raut wajah Malika sewaktu ia jujur
mengatakan jika ia ingin mengakhiri hubungannya dengan malika, bagaimana
ekspresi kesedihan Malika yang terbungkus dengan balutan senyum dan sikap yang
terus dibuat tegar. Bagaimana senyumannya ketika ia bahagia, bagaimana kebaikan
dan ketulusan hati Malika.
Semua itu membuat Bagas merasa sesak
dan penat yang teramat sangat. Namun ia tak ingin menjadi pengecut untuk
berlari dan menghindar. Bagaimana pun ia memiliki andil dari semua peristiwa
ini. Ia akan berusaha untuk tetap terlihat tegar dan tenang seperti apa yang
selalu dilakukan dan diajarkan Malika padanya.
“Tante….”ucap Bagas yang tengah
mendekat ke arah Bu Indira.
“Tante yang tabah, Malika sudah
pergi tante, ikhlaskan Malika tante.”lanjutnya.
“Bagas…”dipeluknya tubuh Bagas
erat-erat.
Bu Indira memang telah menganggap
Bagas seperti anaknya sendiri, sejak bagar menjalin hubungan spesial dengan
putrinya. Bahkan, Bu Indira terkadang terlihat lebih menyayangi Bagas dari pada
Malika, putrid semata-wayangnya.
Pelukan Bu Indira terasa sangat
menyesakkan Bagas, bukan karena pelukannya yang aamat teramat keras dan
membuatnya sulit untuk bernapas. Namun, ia merasa berat menerima pelukan itu,
apakah pelukan itu akan tetap ia dapatkan, jika bu Indira tau apa yang terjadi
antara dirinya dan Malika sebelum malika pergi. Kebaikan bu Indira padanya,
mampu membuat napasnya tersekat hebat.
Namun, Bagar tetap berusaha membawa
dirinya sebaik mungkin. Ia tak ingin terlihat rapuh saat ini. Bagas selalu
mengingat pesan Malika, “Biarkanlah
bahagia itu kau bagi dengan semua orang, namun, jangan biarkan sedih itu
terbagi pada semua orang. Tetaplah terlihat tegar dan santai, agar merea tak
ikut bersedi dengan kita, karena kesedihan bukanlah hal yang layak untuk
dibagi.”
“Mau ngapain kalian?” tegas
ucapan bu INdira sewaktu suster akan menutup tubuh Malika.
“Tante..”kata Bagas tercekat.
“Tidak ! Jangan lancing kalian, anak
saya pasti bagun!”
“Tante, tante harus kuat.”
“Malika anak semata wayang tante,
Bagas. Malika pasti bangun untuk tante.”
Bagas tak menyangka takdir akan
berjalan seperti ini, sakit rasanya melihat bu Indira seperti ini. Hatinya
terasa teriris-iris oleh belati.
“Kenapa Malika begitu tega tinggalin
tante sendirian? Apa Malika sudak ndak sayang lagi sama tante, kenapa dia dapat
pergi secepat ini?”
“Maafkan kami ibu, ibu harus tabah,
kami harus segera membawa anak ibu.” Lirih nada suara dr. Zahra.
“Ibu
harus kuat.”ucap sang suster prihatin.
“Apa? Tabah? Kuat? Tenang? Mana ada
ibu yang dapat melihat anaknya pergi terlebih dahulu! Mana ada seorang ibu yang
mempu menguburkan anaknya sendiri!”
“Mama..” lirih nada seorang lelaki
di belakang sana.
Semua penghuni ruangan itu langsung
menoleh ke belakang, melihat siapakah pemilik suara itu. Tuan Hendrik, suami
dari bu Indira dan ayah dari Malika, sang pemilik suara itu. Ia langsung
berjalan ke bu Indira. Dipeluknya dengan hangat tubuh istrinya, dielusnya tubuh
kaku Malika, yang sudah tak bernyawa.
Wajah ayah malika pun tak jauh beda
dengan sang ibunda. Kusut dan berantakan. Kesedihan dan luka terpancar dengan
jelas di wajah sepasang suami istri itu. Penampilan Tuan Hendrik yang selalu
maskulin pun telah ditanggalkannya. Kini ia terlihat sangat berantakan.
“Malika pa..”
“Sabar ma, ini sudah takdir.”
“Ajari mama cara bersabar pa.”
“Mama pasti bisa, mama pasti kuat.”
“Malika akan bangunkan pa, Malika
tidak akan ninggalin mama kan pa?”
“Ma, Malika sudah pergi, ikhlaskan
dia ma.”
“Tidak, Malika pasti sadar! Malika
akan tetap menemani mama.” Katanya sambil berusaha melepaskan tubuhnya dari
pelukan sang suami.
“Malika bangun, buktiin kalau
omongan mama benar sayang. Jangan tinggalin mama sayang, mama ndak bisa jauh
dari kamu nak, hidup mama ada di kamu Malika.” Kesedihan itu terdengar jelas
dalam nada suara bu Indira.
Gubbrakk
Semua yag ada di dalam ruangan itu
kaget. Bu indira jatuh pingsan, ia tak kuasa melihat kenyataan yang ada, jika
anaknya telah pergi untuk selamanya. Dengan sigap tuan Hendrik, dr. Zahra, dan
suster pun segera membawa Bu Indira ke ruang perawatan. Meninggalkan bagas
seorang diri di ruangan itu.
“Bodoh..” umpatnya saat ruangan
telah sepi.
“Kenapa jadi begini Malika? Katakan!
Kenapa kau tak menamparku dengan tanganmu saja Malika? Mengapa kau harus
menamparku dengan cara seperti ini! Bodoh! Semua bodoh dan teramat sangat
bodoh!” lanjutnya yang tak lagi mampu menyeka air matanya ketika melihat tubuh
kaku Malika.
“Terimakasih telah mengajarkan
ketulusan dan kesetiaan padaku. Maaf aku telah menyakitimu.” Nada suara itu
terdengar sangat bersalah.
Tubuhnya rapuh, ia terjatuh, hingga
harus duduk di lantai rumah sakit.
***
“Malika!” teriak bu Indira saat
siuman dari pingsnnya.
“Mana Malika pa?”
“Jenazah Malika sedang di otopsi
pihak rumah sakit ma.”
“Jadi ini semua bukan mimpi pa?”
Dipeluknya tubuh sang istri
dalam-dalam. Air matanyapun kini mengalir, membasahi kedua pipinya.
“Kenapa semua ini bisa terjadi pa?”
“Aku ndak tau ma,”
“Selamat malam pak.” Suara itu
terdengar sangat berat.
“Malam, ada apa pak?” tanya pak Hendrik
ramah.
“Kami ingin mengembalikan
barang-barang milik putri bapak.” Kata seorang polisi yang tengah mengembalikan
barang-barang milik Malika.
“Terimakasih pak,”ucap papa Malika.
“Ini juga ada foto yang digenggam
anak bapak hingga ia menghembuskan napas terakhirnya pak.”
Dengan sigap Bu Indira mengambil
foto itu dan menatapnya lekat-lekat.
“Sebenarnya apa yang menimpa putri
saya pak?” tanya papa Malika.
“Putri bapak korban kecelakan di
jembatan gantung.”
“Jembatan gantung?”
“Iya bapak, putrid bapak salah satu
korban jembatan yang runtuh, tiang penyangga jembatan telah lapuk dan tali
jembatannya putus. Anak bapak waktu itu berada di jembatan dan ikut terjatuh bersamaan
dengan jembatan. Kepala putri bapak terbentur batu di bawah jembatan.” Jelas
polisi tersebut.
“Kenapa anak saya bisa meninggal
dokter?” tanya bu Indira.
“Benturan tersebut mengakibatkan
pendarahan hebat di kepala anak ibu. Banyak pembuluh darahnya yang pecah dan
sarafnya terganggu, sehingga kami tidak bisa menyelamatkan putri ibu.” Jelas
dr. Zahra.
Bu Indira dan Pak hendrik hanya bisa
diam, menarik napas dalam-dalam dan menenangkan hati mereka ketika mendengarkan
penjelasa dari polisi dan dr. Zahra.
“Apa jenazah anak saya bisa kami bawa
pulang sekarang?”tanya papa Malika.
“Bisa bapak.” Jawab dr. Zahra.
Bu Indira dan Pak Hendrik pun segera
menuju ke ruang jenazah dan segera mengurus administrasi agar dapat segera
membawa pulang jenazah putri kesayangannya. Kaki mereka masih terasa lemas, air
mata belum berhenti menetes dari kedua mata mereka, masih berat rasanya
menerima kenyataan jika putrid semata-wayang mereka harus pergi terlebih
dahulu. Tak sanggup rasanya jika mereka yang harus mensemayamkan jenazah anak
mereka.
Hari ini terasa sangat gelap dan
panjang. Kabut duka terlalu tebal menyelimuti hari mereka. Seakan ingin rasanya
mengulang hari ini, agar semua yang terjadi di hari ini dapat dihindarkan.
Namun, apakah mungkin takdir ini dapat diubah dan dihindarkan? Rasanya masih
terlalu singkat waktu mereka bersama Malika. Gadis delapan belas tahun itu
sudah tiada. Tak ada lagi raganya yang selalu ceria.
Kabar duka cepat berhembus, tak
hanya keluarga Malika yang bersedih, sahabat dan teman-temannya pun mendadak
diselimuti kabut duka yang mendalam. Semua bertanya-tanya mengapa takdir ini
begitu cepat terjadi. Mengapa takdir cepat membawa gadis itu. Semua saling
menerka apa penyebab meninggalnya gadis itu, apa yang membuat gadis itu mau
pergi sendiri, apalagi Malika bukanlah gadis yang senang bepergian seorang
diri.
Tangis kini menggema dalam ruangan
itu, semua duka tumbah menjadi satu, hingga membuatkubangan duka yang teramat
besar. Satu persatu rangkaian bunga tanda duka cita berdatangan. Kalimat turut
berduka cita tak henti-hentinya terngiang dalam ruangan itu.
Bagas masih terpaku, menyepi di
sudut ruangan dan berdiri seorang diri. Tak mampu ia melihat jenazah Malika
lagi, tak kuat ia memandang setiap orang yang menangisi kepergian Malika. Rasa penyesalannya
kian membesar, jika tadi ia tak
mengatakan yang sejujurnya pada Malika mungkin semua ini tak akan terjadi.
Rasa bersalah itu kian membesar dan mengganggunya. Hingga ia tak mampu lagi
berpikir secara realistis.
***
Pagi ini masih terasa seperti mimpi
buruk yang belum usai sejak tadi malam. Hari ini jenazah Malika akan
disemayamkan. Seperti ingin tapi tak ingin untuk pergi ke pemakaman itu. Ada
rasa takut dan rasa bersalah yang teramat dalam, namun, ada juga gejolak yang
memaksanya untuk datang. Kebimbangan dan kegelisahan kembali menyeruak dalam
diri Bagas.
Sejak kemarin kondisinya belum
membaik, bukannya lebih tenang, saat ini bagas makin terlihat letih dan pucat.
Sejak semalam ia tak bisa tidur, hatinya tak tenang, pikirannya kacau, dan badannya
tak berhenti bergetar.
Dicobanya untuk tenang dan rileks
namun ternyata susah untuk dilakukannya. Namun, hatinya kini telah kukuh untuk
datang ke pemakaman Malika, sebagai tanda penghormatan terakhir untuk gadis
yang pernah mengisi hari-harinya.
Senandung zikir tak henti mengiringi
jenazah Malika menuju tempat peristirahatannya yang terakhir. Terlihat dengan
jelas, mama dan papa Malika belum mampu melepaskan Malika sepenuhnya, linangan
air mata masih terlihat dengan jelas dikelopak mata mama Malika. Rasanya air
mata itu belum ingin untuk berhenti menderai, meski telah menciptakan jejak
lebam pada mata mama Malika. Sang suami pun terus merangkul pundak istrinya
untuk member semangat pada sang istri.
Berat rasanya membawa foto Malika
saat ini. Pingsan. Bu Indira tak sanggup melihat liang lahat tempat
peristirahatan sang putri untuk selamanya. Sudah tak dapat dihitung lagi berapa
kali Bu Indira pingsan. Telah berapa banyak air mata yang ia keluarkan sejak
kemarin.
Bagas kembali terkejut ketika melihat
nisan Malika, bukan karena ia baru menyadari jika Malika telah pergi untuk
selamanya, tetapi, lebih karena ia baru mengetahui suatu kenyataan, jika Malika
pergi di hari jadi hubungan mereka yang kedua tahun. Bagas kembali merasa
menyesal, mengapa ia tak ingat akan tanggal itu? Mengapa ia memilih untuk
mengungkapkan hal itu pada waktu yang salah. 8 April kini menjadi tanggal hitam
dalam hidupnya. Tanggal yang penuh tragedy, tanggal yang memisahkan cinta
hingga maut. Tanggal yang telah membuat Bagas merasa senang dan bahkan teramat
senang, dan tanggal yang hamper membuatnya gila dalam kesedihan dan
penyessalan.
Untuk terakhir kalinya, ia
memberikan bunga kepada Malika. Bukan sebagai tanda kebahagiaan namun sebagai
tanda duka dan salam perpisahan. Dengan berat, di arahkan kedua tangannya kearah
nisan Malika, dielusnya dengan lembut sebagai tanda maaf dari dalam dirinya.
Tak kuasa ia menahan air matanya dan
berlama-lama di tempat itu, segera ia beranjak pergi meninggalkan pemakaman
itu.
“Bagas…” panggil Bu Indira dengan
suaranya yang telah serak, entah berapa lama ia telah menangis.
“Iya tante,”langkahnya terhenti
ketika mama Malika memanggilnya.
Mendadak jantungnya berdebar dengan
sangat keras, beribu pertanyaan hadir dalam benaknya, mengapa Bu Indira memanggilnya?
Apakah orang tua Malika telah mengetahui peristiwa tiga puluh menit sebelum
sang putri menemui ajalnya? Akankah mereka marah padanya? Lalu apa yang harus
ia lakukan saat ini?
“Maafkan Bagas tante. “
“Tak ada yang perlu dimaafkan Bagas”
“Tapi, Bagas yang…” kalimatnya
tertahan ketika bu Indira menyela kalimatnya.
“Tante sudah tau semuanya Bagas dan
ini bukan salah kamu, ini semua sudah menjadi takdir hidup Malika.”
“Jadi tante sudah mengetahui
semuanya?”
Bu Indira hanya tersenyum, ia
menyerahkan handphone dan foto yang sejak kemarin ia genggap kepada Bagas.
Bagas yang sejak tadi diam, hanya dapat menatap dengan bingung, mengapa mama
Malika memberikan handphone dan foto kepadanya.
Dengan canggung diambil kedua benda
itu dari tangan mama Malika. Dilihatnya handphone mama Malika disana. Sebuah
percakapan pesan singkat. Disana tertera dengan jelas jika pesan itu dikirim
dari Malika.
4 April 2013, 17.00
From : Malika
Ma… ternyata dia bukan untuk aku,
ternyata apa yang kita harapkan tak selamanya jadi miliki kita. Semua sudah
berakhir ma, dia ndak inget tanggal ini. Dia ngajarin aku kalau tak semua yang
kita inginkan bisa kita dapatkan.
4 April 2013, 17.28
From : Malika
Ma, aku ndak nyangka aku bisa move
on dalam waktu singkat, pemandangan disini mampu menghilangkan bayangan dia ma.
Rasa sakit itu hilang.
Hati Bagas seketika terasa sesak dan
berat, namun ia lebih kaget lagi ketika melihat foto yang ada di tangannya kini,
foto yang telah penuh dengan bercak darah. Selembar foto yang memperlihatkan
peristiwa dua tahun yang lalu, saat ia menyatakan cintanya kepada Malika.
Dibaliknya foto itu, dibacanya tulisan yang tertera di balik foto itu.
Aku memang cinta kamu
Tapi aku tak ingin
menghalangi cintamu
Kau tau,kau mampu
membuatku hancur dalam waktu 5 menit
Namun pemandangan ini
dapat membuatku melupakanmu dalam waktu 5 menit
Hei,
Kau tau sakit rasanya
ketika kau tak mengingat tanggal ini
Ketika kau jujur pada
waktu yang salah
Bukan kau yang salah
Tapi aku yang tak bisa
mempertahankan hatimu untukku
Hei
Terimaksih atas
kebahagiaan yang kau beri
Atas pelajaran yang
kudapat
Maaf
Jika aku telah menjadi
penghalang
Untukmu dan dirinya
Aku yang terlalu bodoh
Sehingga tak peka akan
hatimu
Aku janji
Aku akan melepaskanmu
Aku tak akan
mengganggumu
Dan aku akan selalu
menyayangimu
Hingga maut
menghampiriku.