hover { color: red; text-decoration: underline; cursor: hand; background-image:url(http://i27.tinypic.com/2626vyh.jpg)

Minggu, 14 April 2013

Karena Aku Tak Ingin Menyakiti



Tuhan
Aku  tau Engkau yang mengerti segalanya
Kau tau apa yang ku mau
Dan Kau juga tau apa yang terbaik untukku
Tuhan
Aku hanya ingin Enkau dekatkan dia
Jika dia memang tercipta untukku
Namun
Aku ingin
Engkau hapus rasa ini, hingga tak bersisa lagi
Jika dia bukanlah yang Engkau ciptakan untukku
Tuhan
Aku tak ingin untuk menyakiti
Melukai hatiku dan hatinya
Hanya karena keinginan ini
Mempertahankan dan memaksakan rasa
Yang tercipta untuk tak saling bersama
Aku tau
Tuhan
Engkau pasti punya cara
Untuk memberi taukan aku tentang semua ini.
Tentang rasa yang tidak aku mengerti.
Bagaimana aku akan menghadapinya.
Sendiri

Sabtu, 13 April 2013

Aku dan Kamu Cinta Dia


Kini
Aku harus kembali menangis
Ketika aku harus dihadapkan dengan kenyataan
Aku tak mungkin dapat bersamanya
Memilikinya dalam pelukanku
Dan menggapainya dalam rangkulanku
Aku hanya bisa berdiam
Ketika aku harus dihadapkan dengan fakta
Ada yang menyukai dirinya
Haruskah aku bertahan
Diam di tengah gelombang
Yang aku sendiri tak tau tujuannya
Membiarkan rasa berkobar
Meski harus melawan teman
Yang tidak kami tau siapa akan menang
Atau
Aku harus mundur
Membuang rasa ini jauh-jauh
Melupakan dia
Dan merelakan mereka untuk bersama
Aku hanya ingin bersama tanpa luka
Aku tak ingin
Melukai siapa pun
Melukai temanku
Hanya karena egoisku yang juga cinta dia
Namun,
Mengalah bukan berarti kalah
Aku yakin masih banyak cinta yang lain
Cinta yang lebih besar
Lebih berharga
Dan lebih istimewa untukku
Mungkin
Dia memang bukanlah untukku
Biarkan dia pergi
Menguap bersama rasa yang ada di hati ini
Dan

Jangan pernah menyerah untuk move on

Jumat, 12 April 2013

Menyesal



Sesalku yang telah membiarkanmu pergi
Tak menghadangmu untuk berjalan
Menghentikan langkahmu walau hanya satu detik
Bodohku yang tak mau berbicara
Yang memandangmu walau hanya satu tolehan
Sialku yang telah berhianat
Membagi cintamu dengan yang lain
Hingga kau pergi dengan amarahmu
Tanpa sejenak ingin melihatku
Karmaku yang menyakitimu
Member cinta yang seharusnya milikmu
Kepada dia yang telah menikamku
Bisakah waktu kuputar kembali?
Tak ku biarkan hatiku berpaling darimu
membagi cinta kepada orang yang salah
hingga berlianku hilang tak tau arah

Kau Pergi Karena Salahku



maaf jika aku menyakitimu
membuatmu pergi
dan menghilang jauh dari hadapanku
dosaku yang tak termaafkan
telah membentangkan lautan diantara kita
salahku yang telah berani
berani bemain api di belakangmu
membuat cerita baru
yang aku sadari kau tak mungkin menyukainya
maaf ku katakana padamu
jika aku membuatmu marah
sesalku kini mungkin tak berarti lagi
karena kau telah pergi
kau pergi karena salahku
salahku yang menghianatimu
tak setia padamu
hingga aku kehilanganmu  

Kamis, 11 April 2013

Jangan Kotorkan Cinta


Mengapa kau katakana suka
Jika kau juga suka pada yang lain
Mengapa kau tetap katakana sayang
Jika kau masih menebar bara
Mengapa kau katakana cinta
Jika kau telah berkhianat
Mengapa kau katakana tak ingin menyakiti
Jika ternyata kau jalan dengan yang lain
Mengapa kau ingin dipercaya
Jika kau sering membohongi
Jangan kau berkata lagi
Jika kau akan pungkiri
Jangan kau berjanji
Jika hanya kau ingkari
Dan
Jangan kau kotorkan cinta
Hanya karena dusta dan bualan manis

Dari bibirmu


Move On



Kurasa sudah saatnya untuk move on
Melupakan sejenak tentang bayang-bayangmu
Membiarkannya berlalu tanpa harus kuhadang
Uppss…
Mungkin bukan sejenak
Tapi selamanya
Membuang jauh tentangmu
Menghapus memori terhadap dirimu
Dan membiarkan pikiran dan hatiku melayang bebas
Hufftt
Memang bukan hal yang mudah
Tapi ini harus kulakukan
Aku tak ingin untuk terbelenggu dan terus terbelenggu
Menantimu dalam penantian panjang
Yang tak pernah ku tau kapan akan berakhir
Mungkin benar jika aku harus move on
Melupakanmu
Dan mencari penggantimu
Mencari cinta sejati
Yang memang tercipta untukku.

Rabu, 10 April 2013

Bertepuk Sebelah Tangan


Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
Rasa nyaman yang kau berikan
Kasih sayang yang kau tawarkan
Perhatian yang kau pancarkan
Dan  kebersamaan yang kau janjikan
Begitu tenang kurasakan ketika aku berada didekatmu
Tenangku rasakan ketika aku ada dalam deapanmu
Damai yang mengalir ketika kau membelai kepalaku
Tindakanmu yang telah menyeretku
Membuatku tertarik pada sosokmu
Hingga aku terjerumus dalam jurang cintamu
Tak sadarkah kau
Hatiku terluka ketika kau sebut namanya
Kau sanjung dirinya di depanku
Seakan dia begitu sempurna dalam matamu
Hati ini begitu sesak ketika ku tau sebuah kenyataan
Kau hanya menganggapku seorang adik
Dan kini aku tau cintaku hanya bertepuk sebelah tangan
Saat kau memilih yang lain
Untuk mengisi kosongnya hatimu

I Love You Till I Die


            Mereka hanya saling berpandangan dalam diam, tanpa suara. Seakan mereka sedang berinteraksi melalui tatapan mata mereka. Entah apa yang saat ini dirasakan Malika. Bahagia, sedih , atau takut? Malika tak bisa menjabarkan rasanya saat ini. Ia hanya bisa memandang Bagas lekat-lekat, seakan ia tak ingin Bagas pergi jauh darinya. Rasanya ada yang aneh dari Bagas, tentang caranya menatap dan genggaman tangan Bagas pun terasa berbeda.
            Namun, Malika tak ingin bertanya sedikitpun atau memulai pembicaraannya. Ia ingin Bagas yang memulai membuka suara. Meski ia sangat penasaran dengan perubahan sikap Bagas padannya.
            “Malika,”kata Bagas memecah kesunyian.
            “Iya,”suara lembut Malika selalu mengalun dengan senyuman.
            “Aku minta maaf.” Suara Bagas mulai merendah.
            “Maaf? Untuk apa?” Tanya Malika heran.
            “Aku mau jujur sama kamu.”
            “Maaf? Jujur? Ada apa? Aku nggak ngerti.” Malika semakin bingung dengan sikap Bagas.
            “Hmmm… ada apa? Juju raja.”lanjut Malika saat ia tak mendengar satu patah kata pun dari Bagas.
            “Nggak ada apa-apa, kita pulang yuk.”
            “Nggak,”
            “Kenapa?”
            “Karena kamu nggak mau jujur sama aku.”
            “Kamu cantik.”
            “Aku mengenal kamu bukan sebulan atau dua bulan Bagas, ya udah, kalau kamu belum mau cerita. Tapi jangan pulang dulu dong, kita ke sana aja gimana?” ajak Malika dengan senyumannya.
            Mereka pun segera bangit dari tempat duduk, yang sejak 30 menit yang lalu telah menemani mereka. Suasana danau di sore hari mampu membius pandangan Malika. Ia terfokus pada keindahan di hadapannya, hingga tak menyadari perubahan raut wajah Bagas.
            Seperti ada yang disembunyikkannya dari Malika. Wajar orientalnya yang manis, seketika menjadi pucat pasi, ada suatu ketakutan dalam dirinya. Dicobanya untuk tetap tersenyum di hadapan Malika, yang sebenarnya ia sendiri tau, jika sulit untuknya melakukan hal itu.
            “Kamu kenapa? Sakit?” Tanya Malika khawatir.
            “Nggak ko’, mau main balon?” Tanya Bagas yang berusaha mengalihkan perhatian Malika.
            “Tunggu sebentar ya,” lanjutnya, setelah melihat perubahan raut wajah Malika.
            Bagas pun segea pergi dan membeli sebotol balon sabun, sementara Melika masih asik memandangi danau sembari memotret sekelilingnya. Cuaca hari ini tidak cukup panas, sehingga siapa pun betah untuk berlama-lama di pinggir danau. Sepoian angin menerbangan rambutnya, hingga ia harus berulang kali menepisnya dari wajah indonya itu.
            Lima belas menit telah berlalu, namun Bagas belum juga kembali. Nampaknya Malika pun tak menyadari jika Bagar belum kembali sejak lima belas menit yang lalu.
            “Mau main balon?”Tanya Bagas sembari menyodorkan sebotol balon sabun ke hadapan Malika.
            “Makasi,” jawabnya saat mengambil botol itu.
            Malika pun hanyut dalam kegiatannya itu, namun, kebahagiaan yang ia rasakan seperti terganjal oleh sesuatu yang ia sendiri tak tau. Setiap kali ia menoleh kearah Bagas, hatinya selalu merasa takut, entah apa yang sedang ditakutkannya saat ini. Malika semakin bertanya-tanya, mengapa akhir-akhir ini Bagas lebih sering terlihat muram jika ia sedang bersamanya.
            Namun, Malika tak ingin mebiarkan pikiran negatifnya, ia terus mencoba untuk berfikir positif. Tak ada sedikitpun niatan dalam hati Malika untuk bertanya, ia ingin Bagas sendirilah yang akan bercerita padanya. Ia tak ingin jika sikap ingin taunya malah akan mengusik Bagas dan membuatnya tidak nyaman.
            Malika berusaha tetap terlihat gembira, ia tetap tersenyum jika sedang bersama Bagas. Malika tampak asik dengan balon sabunnya hingga ia merasa terbebas sejenak dari pikiran yang telah mengganggunya.
            “Aku suka sama cewek lain.” Kata Bagas dengan nada lirih.
            Seperti tersambar petir di siang bolong. Malika langsung menoleh ke belakang, ditatapnya Bagas lekat-lekat. Tubuhnya lemas, kaget mendengar ucapan Bagas, tanpa sadar ia telah menjatuhkan balon sabunnya. Bagas yang menyadari hal itu, tampak bingung, ia menundukkan wajahnya dalam-dalam, berharap ia tak dapat melihat tatapan mata Malika.
            Bagas kini telah pasrah, ia siap menerima respon apa pun dari Malika. Bagas sadar, dirinyalah yang telah menyakiti hati Malika. Malika hanya dapat melihat Bagas dalam diam. Hatinya sesak, hancur, dan sangat sakit. Seribu pertanyaan kini hadir dalam benaknya, namun tak ada satu pun yang berani terlontar dari mulutnya. Serasa saat ini mulutnya telah dilem dengan lem yang paling kuat.
            “Aku mencintainya Malika.” Lirih ucapan Bagas saat tak ada satupun kata yang terlontar dari mulut Malika.
            “Pergi.”lembut ucap Malika sambil tersenyum.
            “Tapi………”
            “Pergi,” Malika memalingkan wajahnya dari Bagas, ia ta ingin Bagas melihat air matanya.
            “Malika,” rasa bersalah ini hadir dalam diri Bagas.
            “ Aku tak ingin menjadi penghalang cintamu, pergilah.” Katanya yang dicoba agar terdengar tegar dan ramah.
            Air mata Malika kini tak dapat ditahan lagi, air matanya deras menetes. Ia tak tau apa yang harus dilakukannya kini. Diam dan mendengarkan Bagas atau berlari meninggalkan Bagas? Seketika pikirannya menjadi kusut, hatinya sesak, mulutnya membisu, dan kakinya kaku.
            Bagas menyadari akan hancurnya Malika saat ini. Ia sadar telah melanggar janjinya pada Malika, jika ia akan selalu menjaga hati Malika. Ia sadar jika ia terlah menghianati cinta yang telah terajut selama dua tahun itu.
            “Maaafkan aku,” Bagas mencoba untuk memeluk Malika dari belakang.
            “Aku tak pernah mengizinkanmu untuk memelukku, apalagi sekarang kau bukan lagi pacarku.”kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Malika, saat ia menepis tangan Bagas.
            Sekuat tenaga dicobanya untuk melangkahkan kaki, Ia merasa tak sanggup lagi untu berdiri. Tertatih ia bergerak menuju sebuah kursi di pinggi danau itu. Bagas yang melihat pergerakan Malika, segera mengikutinya dari belakang. Diberanikan dirinya untuk duduk di samping Malika. Bagas hanya bisa diam, ketika ia harus melihat air mata Malika yang mengalir di kedua pipinya. Ia ingin menghapus air mata itu, tapi ia tak mampu. Ia tak sanggup jika nanti ia menatap mata Malika.
            “Mengapa kau masih disini?”
            “Aku tak akan meninggalkanmu sendiri. Aku yang membawamu kesini, jadi aku juga yang akan mengantarkanmu.”
            Mereke kembali berkonflik dalam diam, hingga Malika tak  tahan lagi untuk menahan seribu pertanyaan dalam benaknya.
            “Siapa cewek itu?”
            “Teman sekolahku.”
            “Oooh.”
            “Aku mau jujur satu hal lagi padamu.”
            Malika enggan untuk menjawa kalimat Bagas, ia lebih memilih untuk melepaskan kalung yang selama dua tahun ini setia melingkar dilehernya, dari pada ia harus menjawab pertanyaan dari Bagas.
            “Aku telah berpacaran dengannya sejak tiga bulan yang lalu. Namanya Violla, dia anak cheers. Aku tak ingin menyakitinya.” Kalimat itu mengudara begitu saja.
            Malika tak menyangka, Bagas begitu tak punya hati. Dengan tenang ia mengatakkan hal itu, tanpa memikirkan perasaan hatinya. Namun, Malika tetap tersenyum dan tersenyum. Ia tak ingin Bagas merasa senang dan menang jika Bagas melihatnya hancur. Biarlah air matanya saja yang dilihat Bags.
            “Aku pikir, sudah saatnya aku mengatakan hal ini, aku tak ingin menyakitimu lebih dari ini. Maaf jika aku sudah melanggar janjiku padamu.”
            “Kamu tak perlu merasa bersalah padaku, dulu kau yang memintaku untuk menjaga hatimu, jadi jika kini kau tak percaya lagi padaku kau pantas mengambilnya kembali.” Kata-kata itu memang bijak namun terasa menyakitkan bagi Bagas.
            “Kau berhak menitipkan hatimu pada siapa pun. Pergilah, aku akan kembalikan hatimu dan aku janji aku tak akan mengusik hubungan kalian.” Lembut suara Malika sambil menyerahkan kembali kalung pemberian Bagas.
            “Kamu tetap boleh memakai kalung ini.”
            “Tapi aku tak ingin memakainya kembali, aku sudah tak suka kalung itu. Kau boleh pergi sekarang.”
            “Aku tak akan meninggakanmu.”
            Tapi kau telah meninggalkanku, lirih ucap Malika dalam hati. Segera diseka, air mata yang telah mengalir sejak tiga puluh menit yang lalu itu, ditenangkan dirinya dan dibuatnya merasa senyaman mungkin.
            Malika bangkit dari kursinya, meninggalkan Bagas seorang diri. Saat ini, Malika tak ingin lagi melihat wajah Bagas. Wajah Bagas kini bagaikan limbah beracun yang akan membunuhnya secara perlahan-lahan.
            “Kamu mau kemana.”
            “Jika kamu tak ingin pergi, biarlah aku yang pergi dari sini.”
            “Aku akan mengantarmu.” Bagas pun bangkit dari kursinya.
            “Jangan kau hadir lagi dihadapanku, jika kau hanya akan membuatku terluka. Kau tak perlu mengasihaniku.”
            Malika segera melangkahkan kakinya dan pergi dari hadapan Bagas. Saat ini dunia terasa berhenti, hingga waktu berjalan dengan sangat lambat. Ia ingin hari ini segera berlalu, hingga ia terbebas dari semua peristiwa di hari ini.
            Malika hanya bisa menunduk lemas, meratapi apa telah ia hadapi. Mendadak aliran darahnya membeku, hingga otanya tak lagi mampu berjalan dengan semestinya. Hatinya telah hancur berkeping-keping.
            Tak masuk dalam logikanya bagaimana mungkin cinta yang ia rajut selama dua tahun, harus terpatahkan dengan cinta yang telah terajut selama tiga bulan?
            Malika terus memaksa kakinya untuk berjalan, dengan tatapan kosong Malika berjalan tanpa tujuan, tak dihiraukan Bagas yang telah ditinggalnya sendirian di danau. Terus ditahan air matanya agar tak menetes lagi, ia tak ingin semua orang tau apa yang saat ini ia rasakan. Baginya, lebih baik semua orang menganggap dirinya sedang berbahagia, meski kini hatinya telah luluh lantak.
            Ternyata kebahagiaan yang ia tanam selama dua tahun, harus ia petik dengan luka yang menganga. Namun senyum itu tak pernah pernah pudar dari raut wajahnya. Sehingga membuat dirinya tetap terlihat cantik, meski ia sedang sedih sekali pun.
            Bagas menarik napasnya dalam-dalam. Perasaannya kini kacau balau, ia tak menyangka Malika bisa begitu menerima keputusannnya. Ia tau gadis itu hancur saat ini, tapi ia juga tau separuh hatinya telah berpaling pada yang lain. Tapi, kenapa hatinya hancur ketika melihat gadis itu menangis? Mengapa ia tak kuasa melihat ketika gadis itu mencoba untuk terlihat tegar dan tersenyum, padahal ia tau gadis itu sedang dilemma?
            Apa mungkin ia juga masih mencintai Malika? Lalu, benarkah keputusannya ini? Segala argument berkecamuk dalam diri Bagas. Mengapa kini ia merasa bersalah pada Melika? Mengapa ia merasa takut akan jauh dari Malika? Ia tak ingin Malika pergi untuk segalanya.
            “Haaaaaaaaaa………!!!!” teriak Bagas di tepi danau.
            Diambilnya sebongkah kerikil, lalu melemparnya ke dalam danau.
            “Kenapa kamu ndak marah sama saya!” bentak Bagas.
            Bukan itu yang Bagas inginkan, Bagas lebih memilih jika Malika marah padanya, memukulnya, dan membencinnya. Dari pada ia harus melihat Malika kecewa dalam senyumnya, berusaha tegar untuk melepasnya, dan menamparnya dalam diam.
            Semua ini tak masuk dalam bayangannya, gadis itu terlalu baik. Hingga ia tetap tersenyum pada orang yang telah menyakitinya. Ini yang membuat Bagas menjadi dilemma, ketika kesalahannya harus dibayar dengan kebaikan hati Malika.
***
            Senja telah hadir di hadapannya, namun, Malika tak ingin menghentikan langkah kakinya. Dirogoh isi tasnya, diambil selembar foto yang setia menemaninya. Ditatapnya foto itu lekat-lekat hingga ia tak sadar, jika air matanya kembali menetes. Badannya kembali lunglai. Hingga ia harus bersandar pada tonggak kayu di jembatan itu.
            Foto itu masih dalam genggamannya dan ditatapnya. Dihirup udara disekelilingnya dalam-dalam, berharap udara itu mampu menyegarkan tubuhnya. Dipejamkan kedua matanya, agar ia dapat merileksasikan otot-ototnya. Ia ingin sejenak melupakan segala hal yang menyesakkan batinnya.
            “Hahhhh,”desahnya.
            Senyumnya kembali teruntai, matanya memang focus ke depan namun, tidak dengan pikirannya yang tengah melayang-layang, terbang bebas di udara.
            “Hei, aku memang cinta kamu, tapi aku ndak mau jadi penghalang untukmu menemui cinta sejatimu. Hei, kau tau saat ini aku hancur karenamu. Aku tak menyangka, kau berani mempertaruhkan hubungan kita karena dia yang baru kamu temui. Hei, cepat bagimu melupakanku, tapi, bagaimana dengan aku? Aku memikirkan dia, kau tak ingin dia sakit, tapi mengapa kau tak mampu memikirkanku lagi? Kau tak bisa merasakan apa yang kurasa.”
            Kepalanya terasa berat, mungkin ini dampak karena ia terlalu lama menangis.
            “Hei, ternyata kau bukan takdirku. Terimakasih untuk semua yang kau bei selama dua tahun ini. Terimakasi untuk kado di second enniversary kita .”
            Malika tak bisa membohongi dirinya sendiri, jika ia sangat terluka dan masih sangat mencintai Bagas. Ia tak pernah bermimpi sedetik pun jika di hari jadi hubungannya dengan Bagas, ia hanya ditemani dengan foto dan luka menganga yang telah diciptakan oleh Bagas sendiri. Tak ada bagas disampingnya. Tak ada lagi nada indah yang dinyanyikan Bagas untuk dirinya.
            Di hari ini pula ia menyadari perubahan sikap Bagas, yang tak pernah lagi menyanyikan lagu untuknya selama dua bulan terakhir, tak ada lagi kiriman bunga dan puisi yang setia hadir untuk mewarnai hari-harinya. Ada rasa penyesalan dalam diri Malika, bukan menyesal karena melepaskan Bagas atau karena Bagas yang telah menghianatinya dan ia telah dibohongi oleh Bagas.
            Ia sangat menyesal dan kecewa, karena ia tidak peka, ia tak pernah menyadari perubahan sikap Bagas pada dirinya. Malika tak menyangka dirinya bisa sebodoh itu, bisa mengaku telah mengenalnya, tapi ternyata ia tida bisa peka akan sikapnya.
            Malika kembali menutup mata dan menarik napasnya dalam-dalam. Kembali membuka pintu dalam kepalanya, membiarkan pikirannya terbang sesuka hatinya. Dan mencoba untuk tetap terlihat tenang.
            Malika kembali membuka kedua kelopak matanya. Memutarkan pandangan dan melihat kesekelilingnya. Ia baru menyadari, ternyata ia telah jauh melangkah hingga ia dapat berdiri di jembatan ini. Mungkinkah, karena kerisauannya, ia tak merasakan lelah dan haus sedikit pun? Namun, Malika tak menyesali hal itu, pemandangan tepi sungai di waktu senja ternyata telah menarik perhatiannya.
            Sejenak Malika dapat terlupakan dengan sakit hatinya, ia kembali tersibukkan dengan kamera yang telah berada dalam genggaman tangannya.
***
            Bagas masih belum ingin bangkit dari kursi itu dan melangkahkan kakinya untuk segera beranjak pergi. Jika hatinya hatinya tak terus melonjak, perasaan tidak enak dan kekhawatirannya pada Malika kian berdebar dengan keras.
            Kegelisahannnya pada gadis yang selama hampir dua tahun mengisi hatinya, mampu membuat kakinya melangkah. Dengan cepat Bagas berlalu, hingga ia tiba di rumah Malika. Bagas berharap kekhawatirannya tak terwujud, ia berharap dapat bertemu dengan Malika dan gadis itu baik-baik saja.
            Namun, secuil ketakutan muncul dalam benaknya, ketika ia telah berdiri tegap di depan pintu rumah Malika. Bukan karena takut Malika akan marah dan mengusirnya atau terkena sambaran amarah kedua orang tua Malika, karena ia telah membuat puteri semata wayang mereka menangis. Tapi, ketakutan itu lebih didasarkan pada ketakutannya memandang wajah Malika dan melihatnya menangis  atau bahkan melihat ia tersenyum dan mencoba untuk tegar.
            Namun, sudah kepalang basah untuk beranjak dan pergi dari rumah itu, ia pun tak bisa tenang bila ia belum bertemu dengan Malika. Dengan segala kekuatan yang masih berada dalam dirinya, ia mencoba untuk menekan bel yang terpasang pada pintu rumah Malika.
            “Ee.. Bagas.. ada apa?” sapa Bu Indira.
            “Iya tante, Malikanya ada tante?” Bagas mencoba untuk tersenyum, meski dirinya terkejut melihat sikap mama Malika yang begitu ramah padanya.
            “Malika? Bukannya Malika pergi sama kamu?” Tanya u Indira dengan heran.
            “Jadi Malika belum pulang tante?”Tanya Bagas dengan terbata-bata.
            “Belum, ada apa sebenarnya?” Tanya bu Indira khawatir.
            “Tidak ada apa-apa tante, Cuma tadi Malika pulang duluan.” Bagas mencoba untuk memperlancar kata-katanya, meski ia tak dapat menutupi raut wajahnya yang was-was.
            “Pulang duluan? Kalian…”
            Belum sempat Bu Indira melanjutkan kata-katanya, ketika handphonenya bordering. Satu panggilan masuk tanpa nama. Segera Bu Indira menjawab panggilan itu.
            “Hallo, selamat sore.” Suara di seberang sana.
            “Iya sore, maaf siapa ya?” jawab Bu Indira ramah.
            “Kami dari kepolisian.”jawab sang penelpon di seberang sana.
            “Kantor polisi?” ulang Bu Indira kaget yang mulai terlihat cemas.
            Bagas pun ikut kaget dan cemas. Siapakah gerangan yang terlibat dengan kepolisian? Mungkinkan itu ayah Malika? Namun dirasa tidak, ayah Malika saat ini sedang bekerja di luar negeri. Lalu siapa? Apakah Malika? Mengingat nama itu, membuat kekhawatiran dalam diri bagas kian memuncak. Ia masih berharap, tidak akan terjadi sesuatu yang buruk pada Malika.
            “Apakah ibu kenal dengan Malika?” Tanya pemilik suara itu.
            “Iya, Malika anak saya, apa yang terjdi dengan puteri saya?” nada suara Bu Indira kian menghilang, kekhawatirannya pada sang puteri semata wayang kian membesar.
            “Anak ibu kecelakaan, saat ini ia sedang dibawa ke Rumah Sakit Harapan.”suara itu seperti diperhalus.
            “Kecelakaan? Rumah Sakit?” ulang Bu Indira yang terlihat shock.
            Seketika badannya melepas, handponenya jatuh begitu saja dan terurai di lantai. Bagas pun demikian, ia tak dapat berhenti memikirkan hal-hal buruk, setelah mendengar kata kecelakaan dan rumah sakit.
            Namun, untung Bagas masih bisa mengendalikan dirinya, sehingga ia dapat menahan tubuh Bu Indira yang hampir jatuh ke lantai. Dengan bantuan para pekerja rumah tangga di rumah Malika. Bagas membawa Bu Indira masuk ke dalam rumah dan membaringkannya di sofa.
            Sementara sang pembantu mencoba untuk menyadarkan majikannya yang sedang pingsan. Bagas tak henti-henti mencoba menelpon ke handphone Malika. Namun tidak ada jawaban. Kemana Malika? Mengaa ia belum pulang? Mengapa handphonenya mati dan tak bisa dihubungi?
            Bagar terlihat sangat khawatir.
            “Ambil kunci mobil sekarang.”kata Bu Indira setelah bangun dari pingsannya.
            Bagas pun kaget mendengat suara Bu Indira, ia segera  menoleh dan menghampiri Bu Indira.
            “Tapi, nyonya belum baikan, sebaiknya nyonya istirahat dulu.”
            “Ambil kunci mobil sekarang.”perintah Bu Indira dengan nada yang ditinggikan.
            Terdengar sangat jelas, suara itu mengandung kekhawatiran dan kecemasan yang mendalam. Bagas pun kembali bertanya-tanya apa yang terjadi pada Bu Indira.
            “Tante tenang, sebenarnya ada apa?” kata Bagas menenangakan ketika ia melihat air mata Bu Indira mulai mengalir.
            “Ini kuncinya nyonya.”
            “Kamu ikut saja kalau kamu ingin tau.”jawab Bu Indira singkat.
            Bu Indira segera bangkit dari kursinya dan beranjak untuk pergi. Bagas pun mengikutinya dari belakang tanpa banyak bicara. Baginya,tak ada gunanya banyak bertanya saat ini, bu Indira tak akan mungkin menjawab pertanyaannya. Bagas hanya berusaha untuk menenangkan hati Bu Indira yang masih menangis. Wajahnya mulai menucat. Buku-buku jarinya memutih ketika ia mencoba untuk melajukan mobinya dengan kecepatan yang tinggi. Hingga, Bagas menjadi takut jika akan terjadi hal yang tidak diinginkan.
            Namun, bu Indira tak mendengarkan setiap ucapan Bagas, yang ada dalam pikirannya kini hanyalah malika, Puteri semata wayangnya. Ia ingin segera bertemu Malika dan meyakinkan dirinya jika Malika baik-baik saja.
            Bagas semakin tak mengerti dengan semua ini, mengapa mereka pergi ke rumah sakit dan mengapa Bu Indira tak henti menangis. Bagas mempercepat langkahnya agar ia tak tertinggal dari Bu Indira yang telah berlari jauh di depannya.
            “Diamana anak saya?” atanya gusar pada petugas resepsionis.
            “Nama anak ibu siapa?” Tanya petugas itu ramah.
            “Malika.”
            “Anak ibu ada diruangan 206.”
            Seperti mendapat dorongan yang begitu kuat, Bu Indira kembali melangkahkan kakinya dengan cepat. Ia baru dapat menghentikan langkah kakinya ketika ia sudah berada di depan ruangan tempat putrinya dirawat. Ia segera masuk tanpa dikomando. Ia berharap dapat segera melihat sang putri kesayangannya.
            “Malika..”
            Sang dokter nampak kaget, ketika Bu Indira masuk begitu saja ke dalam ruangan, Bagas pun ikut masuk ke dalam ruangan bersama Bu Indira. Bu Indira segera berlari menuju tepi tempat tidur, segera dipeluk Malika lekat-lekat, dielus-elusnya wajah Malika.
            “Malika sayang, bagun nak. Ini mama. Bangun sayang.” Ucapnya lirih.
            Namun Malika seperti tak ingin membuka matanya, ia hanya diam terpaku di tempat tidur dengan perban yang terpasang apik di kepalanya. Bu Indira nampaknya  tak sabar untuk melihat Malika bangun dari tidurnya, digoyang-goyankan tubuh Malika, namun Malika tetap tak merespon. Tubuhnya hanya terbujur kaku di tempat tidur.
            “Malika ayo bangun nak, jangan tinggalin mama sayang.”katanya lembut.
            “Bagun Malika bagun.” Lanjut Bu Indira sambil menggoyang-goyangkan tubuh Malika.
            “Ibu tenang.” Kata dr. Zahra lembut.
            “Apa kamu bilang? Tenang? Bagaimana saya bisa tenang kalau anak saya tidak sadarkan diri? Bagaimana saya bisa tenang kalau melihat anak saya penuh luka? Bagaimana cara saya untuk tenang?” kata Bu Indira tegas namun sedih.
            “Maafkan kami bu, tapi, nyawa anak ibu tidak dapat kami selamatkan.” Ucap dr. Zahra yang dibuat sehalus mungkin.
            “Apa? Tidak dapat diselamatkan? Jaga ucapanmu dokter, anak saya pasti selamat, dia akan sembuh!” bentak bu Indira yang tak mampu menerima kenyataan.
            “Maafkan kami ibu, kami tidak berbohong.”
            “Tidak, Malika pasti sembuh, anak saya belum meninggal.” Bentak Bu Indira.
            “Malika sayang bagun nak, kasih tau mereka kalau kamu belum meninggal sayang. Malika kamu dengar mama kan sayang.” Ucapnya lirih sambil mengelus pipi anaknya lembut.
            Bagas seperti tersambar petir di tengah padang pasir yang panas. Badannya mendadak gemetar ketika mendengar kenyataan bahwa Malika telah pergi selamanya. Ia ta menyanngka keputusannya untuk jujur pada Malika akan membuat dirinya kehilangan Malika untuk selamanya. Penyesalan kini muncul dalam benaknya, ternyata ia bukan saja membuat luka menganga di hati Malika, namun ia juga membuat luka menganga di sekujur tubuh Malika.
            Ia tak pernah menyangka jika ia harus menghancurkan seluruh hidup Malika, membuatnya pergi jauh dan menyisakan luka dan kesedihan di hati semua keluaga Malika.  Bagas hanya bisa meratapi semua kesalahannya. Niatnya untuk tak menyakiti Malika lebih dari yang ia kira, ternyata telah membuat luka menganga yang sangat besar.
            Bagas tau percuma rasanya jika ia menyesal sekarang, sudah kepalang basah, semua telah terjadi. Ia tak tau bagaimana caranya meminta maaf pada Malika, bagaimana cara ia menghadapi sikap kedua orang tua Malika, dan semua teman-temannya jika mereka tau yang sebenarnya. Peristiwa tiga puluh menit sebelum Malika pergi untuk selamanya.
            Sekelebat bayang-bayang Malika kembali hadir di hadapannya. Bagaimana raut wajah Malika sewaktu ia jujur mengatakan jika ia ingin mengakhiri hubungannya dengan malika, bagaimana ekspresi kesedihan Malika yang terbungkus dengan balutan senyum dan sikap yang terus dibuat tegar. Bagaimana senyumannya ketika ia bahagia, bagaimana kebaikan dan ketulusan hati Malika.
            Semua itu membuat Bagas merasa sesak dan penat yang teramat sangat. Namun ia tak ingin menjadi pengecut untuk berlari dan menghindar. Bagaimana pun ia memiliki andil dari semua peristiwa ini. Ia akan berusaha untuk tetap terlihat tegar dan tenang seperti apa yang selalu dilakukan dan diajarkan Malika padanya.
            “Tante….”ucap Bagas yang tengah mendekat ke arah Bu Indira.
            “Tante yang tabah, Malika sudah pergi tante, ikhlaskan Malika tante.”lanjutnya.
            “Bagas…”dipeluknya tubuh Bagas erat-erat.
            Bu Indira memang telah menganggap Bagas seperti anaknya sendiri, sejak bagar menjalin hubungan spesial dengan putrinya. Bahkan, Bu Indira terkadang terlihat lebih menyayangi Bagas dari pada Malika, putrid semata-wayangnya.
            Pelukan Bu Indira terasa sangat menyesakkan Bagas, bukan karena pelukannya yang aamat teramat keras dan membuatnya sulit untuk bernapas. Namun, ia merasa berat menerima pelukan itu, apakah pelukan itu akan tetap ia dapatkan, jika bu Indira tau apa yang terjadi antara dirinya dan Malika sebelum malika pergi. Kebaikan bu Indira padanya, mampu membuat napasnya tersekat hebat.
            Namun, Bagar tetap berusaha membawa dirinya sebaik mungkin. Ia tak ingin terlihat rapuh saat ini. Bagas selalu mengingat pesan Malika, “Biarkanlah bahagia itu kau bagi dengan semua orang, namun, jangan biarkan sedih itu terbagi pada semua orang. Tetaplah terlihat tegar dan santai, agar merea tak ikut bersedi dengan kita, karena kesedihan bukanlah hal yang layak untuk dibagi.”
            “Mau ngapain kalian?” tegas ucapan bu INdira sewaktu suster akan menutup tubuh Malika.
            “Tante..”kata Bagas tercekat.
            “Tidak ! Jangan lancing kalian, anak saya pasti bagun!”
            “Tante, tante harus kuat.”
            “Malika anak semata wayang tante, Bagas. Malika pasti bangun untuk tante.”
            Bagas tak menyangka takdir akan berjalan seperti ini, sakit rasanya melihat bu Indira seperti ini. Hatinya terasa teriris-iris oleh belati.
            “Kenapa Malika begitu tega tinggalin tante sendirian? Apa Malika sudak ndak sayang lagi sama tante, kenapa dia dapat pergi secepat ini?”
            “Maafkan kami ibu, ibu harus tabah, kami harus segera membawa anak ibu.” Lirih nada suara dr. Zahra.
            “Ibu  harus kuat.”ucap sang suster prihatin.
            “Apa? Tabah? Kuat? Tenang? Mana ada ibu yang dapat melihat anaknya pergi terlebih dahulu! Mana ada seorang ibu yang mempu menguburkan anaknya sendiri!”
            “Mama..” lirih nada seorang lelaki di belakang sana.
            Semua penghuni ruangan itu langsung menoleh ke belakang, melihat siapakah pemilik suara itu. Tuan Hendrik, suami dari bu Indira dan ayah dari Malika, sang pemilik suara itu. Ia langsung berjalan ke bu Indira. Dipeluknya dengan hangat tubuh istrinya, dielusnya tubuh kaku Malika, yang sudah tak bernyawa.
            Wajah ayah malika pun tak jauh beda dengan sang ibunda. Kusut dan berantakan. Kesedihan dan luka terpancar dengan jelas di wajah sepasang suami istri itu. Penampilan Tuan Hendrik yang selalu maskulin pun telah ditanggalkannya. Kini ia terlihat sangat berantakan.
            “Malika pa..”
            “Sabar ma, ini sudah takdir.”
            “Ajari mama cara bersabar pa.”
            “Mama pasti bisa, mama pasti kuat.”
            “Malika akan bangunkan pa, Malika tidak akan ninggalin mama kan pa?”
            “Ma, Malika sudah pergi, ikhlaskan dia ma.”
            “Tidak, Malika pasti sadar! Malika akan tetap menemani mama.” Katanya sambil berusaha melepaskan tubuhnya dari pelukan sang suami.
            “Malika bangun, buktiin kalau omongan mama benar sayang. Jangan tinggalin mama sayang, mama ndak bisa jauh dari kamu nak, hidup mama ada di kamu Malika.” Kesedihan itu terdengar jelas dalam nada suara bu Indira.
            Gubbrakk
            Semua yag ada di dalam ruangan itu kaget. Bu indira jatuh pingsan, ia tak kuasa melihat kenyataan yang ada, jika anaknya telah pergi untuk selamanya. Dengan sigap tuan Hendrik, dr. Zahra, dan suster pun segera membawa Bu Indira ke ruang perawatan. Meninggalkan bagas seorang diri di ruangan itu.
            “Bodoh..” umpatnya saat ruangan telah sepi.
            “Kenapa jadi begini Malika? Katakan! Kenapa kau tak menamparku dengan tanganmu saja Malika? Mengapa kau harus menamparku dengan cara seperti ini! Bodoh! Semua bodoh dan teramat sangat bodoh!” lanjutnya yang tak lagi mampu menyeka air matanya ketika melihat tubuh kaku Malika.
            “Terimakasih telah mengajarkan ketulusan dan kesetiaan padaku. Maaf aku telah menyakitimu.” Nada suara itu terdengar sangat bersalah.
            Tubuhnya rapuh, ia terjatuh, hingga harus duduk di lantai rumah sakit.
***
            “Malika!” teriak bu Indira saat siuman dari pingsnnya.
            “Mana Malika pa?”
            “Jenazah Malika sedang di otopsi pihak rumah sakit ma.”
            “Jadi ini semua bukan mimpi pa?”
            Dipeluknya tubuh sang istri dalam-dalam. Air matanyapun kini mengalir, membasahi kedua pipinya.
            “Kenapa semua ini bisa terjadi pa?”
            “Aku ndak tau ma,”
            “Selamat malam pak.” Suara itu terdengar sangat berat.
            “Malam, ada apa pak?” tanya pak Hendrik ramah.
            “Kami ingin mengembalikan barang-barang milik putri bapak.” Kata seorang polisi yang tengah mengembalikan barang-barang milik Malika.
            “Terimakasih pak,”ucap papa Malika.
            “Ini juga ada foto yang digenggam anak bapak hingga ia menghembuskan napas terakhirnya pak.”
            Dengan sigap Bu Indira mengambil foto itu dan menatapnya lekat-lekat.
            “Sebenarnya apa yang menimpa putri saya pak?” tanya papa Malika.
            “Putri bapak korban kecelakan di jembatan gantung.”
            “Jembatan gantung?”
            “Iya bapak, putrid bapak salah satu korban jembatan yang runtuh, tiang penyangga jembatan telah lapuk dan tali jembatannya putus. Anak bapak waktu itu berada di jembatan dan ikut terjatuh bersamaan dengan jembatan. Kepala putri bapak terbentur batu di bawah jembatan.” Jelas polisi tersebut.
            “Kenapa anak saya bisa meninggal dokter?” tanya bu Indira.
            “Benturan tersebut mengakibatkan pendarahan hebat di kepala anak ibu. Banyak pembuluh darahnya yang pecah dan sarafnya terganggu, sehingga kami tidak bisa menyelamatkan putri ibu.” Jelas dr. Zahra.
            Bu Indira dan Pak hendrik hanya bisa diam, menarik napas dalam-dalam dan menenangkan hati mereka ketika mendengarkan penjelasa dari polisi dan dr. Zahra.
            “Apa jenazah anak saya bisa kami bawa pulang sekarang?”tanya papa Malika.
            “Bisa bapak.” Jawab dr. Zahra.
            Bu Indira dan Pak Hendrik pun segera menuju ke ruang jenazah dan segera mengurus administrasi agar dapat segera membawa pulang jenazah putri kesayangannya. Kaki mereka masih terasa lemas, air mata belum berhenti menetes dari kedua mata mereka, masih berat rasanya menerima kenyataan jika putrid semata-wayang mereka harus pergi terlebih dahulu. Tak sanggup rasanya jika mereka yang harus mensemayamkan jenazah anak mereka.
            Hari ini terasa sangat gelap dan panjang. Kabut duka terlalu tebal menyelimuti hari mereka. Seakan ingin rasanya mengulang hari ini, agar semua yang terjadi di hari ini dapat dihindarkan. Namun, apakah mungkin takdir ini dapat diubah dan dihindarkan? Rasanya masih terlalu singkat waktu mereka bersama Malika. Gadis delapan belas tahun itu sudah tiada. Tak ada lagi raganya yang selalu ceria.
            Kabar duka cepat berhembus, tak hanya keluarga Malika yang bersedih, sahabat dan teman-temannya pun mendadak diselimuti kabut duka yang mendalam. Semua bertanya-tanya mengapa takdir ini begitu cepat terjadi. Mengapa takdir cepat membawa gadis itu. Semua saling menerka apa penyebab meninggalnya gadis itu, apa yang membuat gadis itu mau pergi sendiri, apalagi Malika bukanlah gadis yang senang bepergian seorang diri.
            Tangis kini menggema dalam ruangan itu, semua duka tumbah menjadi satu, hingga membuatkubangan duka yang teramat besar. Satu persatu rangkaian bunga tanda duka cita berdatangan. Kalimat turut berduka cita tak henti-hentinya terngiang dalam ruangan itu.
            Bagas masih terpaku, menyepi di sudut ruangan dan berdiri seorang diri. Tak mampu ia melihat jenazah Malika lagi, tak kuat ia memandang setiap orang yang menangisi kepergian Malika. Rasa penyesalannya kian membesar, jika tadi ia tak mengatakan yang sejujurnya pada Malika mungkin semua ini tak akan terjadi. Rasa bersalah itu kian membesar dan mengganggunya. Hingga ia tak mampu lagi berpikir secara realistis.
***
            Pagi ini masih terasa seperti mimpi buruk yang belum usai sejak tadi malam. Hari ini jenazah Malika akan disemayamkan. Seperti ingin tapi tak ingin untuk pergi ke pemakaman itu. Ada rasa takut dan rasa bersalah yang teramat dalam, namun, ada juga gejolak yang memaksanya untuk datang. Kebimbangan dan kegelisahan kembali menyeruak dalam diri Bagas.
            Sejak kemarin kondisinya belum membaik, bukannya lebih tenang, saat ini bagas makin terlihat letih dan pucat. Sejak semalam ia tak bisa tidur, hatinya tak tenang, pikirannya kacau, dan badannya tak berhenti bergetar.
            Dicobanya untuk tenang dan rileks namun ternyata susah untuk dilakukannya. Namun, hatinya kini telah kukuh untuk datang ke pemakaman Malika, sebagai tanda penghormatan terakhir untuk gadis yang pernah mengisi hari-harinya.
            Senandung zikir tak henti mengiringi jenazah Malika menuju tempat peristirahatannya yang terakhir. Terlihat dengan jelas, mama dan papa Malika belum mampu melepaskan Malika sepenuhnya, linangan air mata masih terlihat dengan jelas dikelopak mata mama Malika. Rasanya air mata itu belum ingin untuk berhenti menderai, meski telah menciptakan jejak lebam pada mata mama Malika. Sang suami pun terus merangkul pundak istrinya untuk member semangat pada sang istri.
            Berat rasanya membawa foto Malika saat ini. Pingsan. Bu Indira tak sanggup melihat liang lahat tempat peristirahatan sang putri untuk selamanya. Sudah tak dapat dihitung lagi berapa kali Bu Indira pingsan. Telah berapa banyak air mata yang ia keluarkan sejak kemarin.
            Bagas kembali terkejut ketika melihat nisan Malika, bukan karena ia baru menyadari jika Malika telah pergi untuk selamanya, tetapi, lebih karena ia baru mengetahui suatu kenyataan, jika Malika pergi di hari jadi hubungan mereka yang kedua tahun. Bagas kembali merasa menyesal, mengapa ia tak ingat akan tanggal itu? Mengapa ia memilih untuk mengungkapkan hal itu pada waktu yang salah. 8 April kini menjadi tanggal hitam dalam hidupnya. Tanggal yang penuh tragedy, tanggal yang memisahkan cinta hingga maut. Tanggal yang telah membuat Bagas merasa senang dan bahkan teramat senang, dan tanggal yang hamper membuatnya gila dalam kesedihan dan penyessalan.
            Untuk terakhir kalinya, ia memberikan bunga kepada Malika. Bukan sebagai tanda kebahagiaan namun sebagai tanda duka dan salam perpisahan. Dengan berat, di arahkan kedua tangannya kearah nisan Malika, dielusnya dengan lembut sebagai tanda maaf dari dalam dirinya.
            Tak kuasa ia menahan air matanya dan berlama-lama di tempat itu, segera ia beranjak pergi meninggalkan pemakaman itu.
            “Bagas…” panggil Bu Indira dengan suaranya yang telah serak, entah berapa lama ia telah menangis.
            “Iya tante,”langkahnya terhenti ketika mama Malika memanggilnya.
            Mendadak jantungnya berdebar dengan sangat keras, beribu pertanyaan hadir dalam benaknya, mengapa Bu Indira memanggilnya? Apakah orang tua Malika telah mengetahui peristiwa tiga puluh menit sebelum sang putri menemui ajalnya? Akankah mereka marah padanya? Lalu apa yang harus ia lakukan saat ini?
            “Maafkan Bagas tante. “
            “Tak ada yang perlu dimaafkan Bagas”
            “Tapi, Bagas yang…” kalimatnya tertahan ketika bu Indira menyela kalimatnya.
            “Tante sudah tau semuanya Bagas dan ini bukan salah kamu, ini semua sudah menjadi takdir hidup Malika.”
            “Jadi tante sudah mengetahui semuanya?”
            Bu Indira hanya tersenyum, ia menyerahkan handphone dan foto yang sejak kemarin ia genggap kepada Bagas. Bagas yang sejak tadi diam, hanya dapat menatap dengan bingung, mengapa mama Malika memberikan handphone dan foto kepadanya.
            Dengan canggung diambil kedua benda itu dari tangan mama Malika. Dilihatnya handphone mama Malika disana. Sebuah percakapan pesan singkat. Disana tertera dengan jelas jika pesan itu dikirim dari Malika.
            4 April 2013, 17.00
            From : Malika
            Ma… ternyata dia bukan untuk aku, ternyata apa yang kita harapkan tak selamanya jadi miliki kita. Semua sudah berakhir ma, dia ndak inget tanggal ini. Dia ngajarin aku kalau tak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan.

            4 April 2013, 17.28
            From : Malika
            Ma, aku ndak nyangka aku bisa move on dalam waktu singkat, pemandangan disini mampu menghilangkan bayangan dia ma. Rasa sakit itu hilang.
           
            Hati Bagas seketika terasa sesak dan berat, namun ia lebih kaget lagi ketika melihat foto yang ada di tangannya kini, foto yang telah penuh dengan bercak darah. Selembar foto yang memperlihatkan peristiwa dua tahun yang lalu, saat ia menyatakan cintanya kepada Malika. Dibaliknya foto itu, dibacanya tulisan yang tertera di balik foto itu.
Aku memang cinta kamu
Tapi aku tak ingin menghalangi cintamu
Kau tau,kau mampu membuatku hancur dalam waktu 5 menit
Namun pemandangan ini dapat membuatku melupakanmu dalam waktu 5 menit
Hei,
Kau tau sakit rasanya ketika kau tak mengingat tanggal ini
Ketika kau jujur pada waktu yang salah
Bukan kau yang salah
Tapi aku yang tak bisa mempertahankan hatimu untukku
Hei
Terimaksih atas kebahagiaan yang kau beri
Atas pelajaran yang kudapat
Maaf
Jika aku telah menjadi penghalang
Untukmu dan dirinya
Aku yang terlalu bodoh
Sehingga tak peka akan hatimu
Aku janji
Aku akan melepaskanmu
Aku tak akan mengganggumu
Dan aku akan selalu menyayangimu
Hingga maut menghampiriku.